Oleh: M. Idsris Yusuf dan Hendriyanto
al-Mandari
“Ketika masih muda, aku menyelami samudera yang
dalam ini. Aku menyelaminya sebagai penyelam handal dan pemberani, buka sebagai
penyelam penakut dan pengecut. Aku menyerang setiap kegelapan dan mengatasi semua
maslah, menyelami kegoncangan. Aku teliti aqidah setiap kelompok dan menyingkap
rahasia cara pikir setiap golongan, agar aku bisa membedakan antara kelompok
yang memperjuangkan kebenaran dan kelompok yang memperjuangkan kebathilan, agar
bisa membedakan antara pengikut sunnah dan pencipta bid’ah”.
- A. Al-Ghazali dan Tasawuf
Bahwa Al-Ghazali adalah ulama’ besar yang
sanggup menyusun kompromi antara syari’at dan hakikat atau tasawuf menjadi
bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syar’I
ataupun lebih-lebih kalangan sufi.[1]
Berbagai macam buku yang membahas tentang sepak
terjang Al-Ghazali yang tumbuh kembang pada masa dimana banyak muncul mazhab
dan goolngan. Ketika itu, beragam kecenderungan berfikir, baik yang bernuansa
agama maupun rasio, berbenturan dan beradu argumentasi. Al-Ghazali
merasakan dirinya di antara mazhab yang terpecah belah, kelompok-kelompok
perusak, filsafat asing dan bid’ah-bid’ah pemikiran. Sehigga tergambar dalam
bait kata-katanya yang begitu menggugah hati dengan gemuruh semangat dan
keberanian;
“ketika masih muda, aku menyelami samudera yang
dalam ini. Aku menyelaminya sebagai penyelam handal dan pemberani, buka sebagai
penyelam penakut dan pengecut. Aku menyerang setiap kegelapan dan mengatasi
semua masalah, menyelami kegoncangan. Aku teliti aqidah setiap kelompok dan
menyingkap rahasia cara pikir setiap golongan, agar aku bisa membedakan antara
kelompok yang memperjuangkan kebenaran dan kelompok yang memperjuangkan
kebathilan, agar bisa membedakan antara pengikut sunnah dan pencipta bid’ah”.[2]
Dengan demikian tidak ayal al-Ghazali merasakan
dirinya berhadapan dengan samudera luas, dengan gulungan ombak yang sangat
dahsyat dan dalam. Dia tidak memposisikan dirinya sebagai “penggembira”
yang hanya ikut-ikutan dalam gelombang dahsyat itu. Dia tidak merasa takut
terhadap luasnya samudera, kedalaman dasar samudera dan besarnya gelombang. [3]
Dasar ajaranTasawuf adalah cinta rindu untuk
berhubungan dengan kekasihnya Allah SWT, dan berasik-maksyuk dengan Dia.[4] Perkembangan
yang cukup menarik adalah timbulnya kesadaran dari dalam untuk memoderasi
ajaran Tasawuf, dan untuk mengeliminir konflik antara syari’at dan tasawuf
atau hakikat. Upaya ini walaupun tidak akan berhasil memuaskan
sepenuhnya, namun cukup konstruktif dan positif. Pertentangan antara hakikat
dan syari’ah bisa diperkecil. Namun sebaliknya menimbulkan konflik ke dalam
antara golongan yang lebih ortodoks dengan sufisme murni yang lebih heterodoks
(pantheis). Disamping itu kelemahan yang mendasar dari kompromi ini, umumnya
terletak pada penghargaan terhadap Tasawuf (hakikat) selalu dipandang
lebih tinggi dari Syari’at. Al-Ghazali misalnya membagi iman menjadi
tiga tingkat, dan yang paling tinggi adalah para arifin (sufi). Ajaran ini
diterangkan sebagai berikut;
“Keimanan tingkat awal, imannya orang-orang
awam, yakni iman dasar taklid.
Tingkat kedua, imannya para mutakallimin
(teolog), atas dasar campuran (taklid) dengan sejenis dalil.
Tingkatan ini masih dekat dengan golongan awam.
Tingkat ketiga, imannya para arifin (sufi) atas
dasar pensaksian secara langsung dengan perantara nurul yaqin.(ihya’
‘ulumuddin, III, hal. 15).[5]
Setelah Al-Ghazali melihat bahwa ahli ilmu
kalam, filosof dan kaum Batiniyah tidak mampu mengantarkannya mencapai
keyakinannya dan hakikat, maka dia melirik tasawuf yang menurut pandangannya
adalah harapan terakhir yang bisa memberikannya kebahagiaan dan keyekinan. Ia
mengatakan, “setelah aku mempelajari ilmu-ilmu ini (kalam, filsafat, dan
ajaran bathiniyah), aku mulai menempuh jalan para sufi.”[6]
Para sufi banyak berbicara tentang kasyf
dan mu’ayanah, mampu berhubungan dengan alam malakut dan belajar darinya
secara langsung, mampu mengetahui lauhul-mahfuzh dan rahasia-rahasia yang
dikandungnya. Namun, bagaimanakah caranya agar manusia mampu mendapatkan kasyf
dan mu’ayanah? Para sufi menjawab, caranya dengan menuntut ilmu dan mengamalkan
ilmu yang didapatkan. Al-Ghazali mengatakan, “Aku tahu bahwa tarekat mereka
menjadi sempurna dengan ilmu dan amal”[7]
Jalan pertama, yaitu Ilmu.
Al-Ghazli mulai mendapatkan ilmu kaum sufi dari kitab Qut Al-Qulub Mu’amalah
Al-Mahbub karya Abu Thalib Al-Makki dan kitab Ar-Ri’ayah li Huquq
Allah karya Harits Al-Muhasibi, serta ucapan-ucapan pucuk pimpinan
sufi semisal Al-Junaidi, As-Syibli, Al-Busthami, dan lain-lain.
Al-Ghazali mengatakan, “Mendapatkan ilmu Tasawuf bagiku lebih mudah dari
pada mengamalkannya. Aku mulai mempelajari ilmu kaum sufi dengan menelaah
kitab-kitab dan ucapan-ucapan guru-guru mereka. Aku mendapatkan ilmu dengan
cara mendengar dan belajtar. Nampaklah bagiku bahwa keistimewaan guru besar
sufi tidak mungkin digapai dengan cara belajar, tetapi dengan cara dzauq, hal,
dan memperbaiki sifat diri.”
Jalan kedua, yaitu dengan cara Tahalli
(menghias diri dengan sifat-sifat utama), Tkhalli (membersihkan firi
dari sifat-sifat yang rendah dan tercela) agar manusia dapat memberesihkan hati
dari pikiran selain Allah dan menghias hati dengan berzikir kepadaNya.
Al-Ghazalai mengatakan, “Adapu manfaat yang dicapai dari ilmu sufi adalah
terbuangnya aral yang merintangi jiwa, mensucikan diri dari akhlaknya yang
tercela dan sifatnya yang kotor, hingga dengan jiwa yang telah bersih itu hati
menjadi kosong dari selain Allah dan dihiasi dengan dzikir kepada Allah.”[8]
Di dalam kitab-kitab Ihya’ ‘Ulumuddin,
Al-Ghazali menulis, “Bagi hati, ada dan tiadanya sesuatu adalah sama.
Lantas, bagaimanakah hati meninggalkan semua urusan Dunia? Demi Allah, ini
adalah jalan yang sangat sukar; jarang sekali ada manusai yang sanggup
melakukannya”[9]
Cukup lama Al-Ghazali berada dalam situasi
tarik menarik antara dorongan hawa nafsu dan panggilan akhirat, hingga akhirnya
ia merasa dirinya tidak lagi harus memilih, tetapi dipakasa untuk meninggalkan
Bagdad. Kini lidahnya menjadi berat dan dirinya merasa bosan mengajar. Keadaan
ini membuat hatinya sedih dan kondisi fisiknya lemah, sampai-sampai dokter
putus asa mengobatinya. Para dokter mengatakan, “Penyakitnya bersumber dari
hati dan merembet ke tubuhnya. Penyakitnya tidak bisa diobati kecuali
mengistirahatkan pikiran dari factor-faktor yang membuatnya sakit”[10]
“Disaat menyadari ketidak mampuan dan semua
upaya telah gagal, akupun mau tak mau harus kembali kepada Allah dalam keadaan
yang terpaksa dan tidak mempunyai pilihan lagi. Allah-yang menjawab doa yang
terpaksa jika berdoa-mengabulkan niatku, sehinngga kini terasa mudah bagiku
meninggalkan pangkat, harta, anak, dan teman.”[11]
Sesudah mengalami masa-masa keraguan yang cukup
rumit, baik dalam filsafat ataupun penggunaannya dalam Ilmu Kalam,
akhirnya justru mendapatkan kepuasan dalam penghayatan kejiwaan dalam Sufisme,
yakni mempercayai kemutlakan dalil kasyfi.[12] Hal ini
merupakan keunikan-keunikan atau keanehan al-Ghazali. Mungkin karena pengaruh
lingkungan keluarga dan masyarakat Persi masa itu yang merupakan lahan yang
subur bagi perkembangan pemikiran dan kehidupan sufisme. Agaknya beliau telah
sejak kecil punya penilaian positif terhadap ajaran sufisme. Karena memang
beliau melihat dan menghayati betapa institusi tasawuf dapat memperdalam
keyakinan dan perasaan agama yang mendalam, serta dapat membina akhlaq yang
luhur. Dan ternyata akhirnya Al-Ghazali jadi propagandis sufisme yang paling
bersemangat dan paling sukses. Misalnya, tetntang kehidupan para sufi dan
tasawuf yang digambarkannya:
“Sungguh aku mengetahui secara yakin bahwa
para sufi itulah orang-orang yang benar-benar telah menempuh jalan Allah SWT,
secara khusus. Dan bahwa jalan mereka tempuh adalah jalan yang sebaik-baiknya,
dan laku hidup mereka adalah yang paling benar, dan akhlaq adalah yang paling
suci. Bahkan seandainya para ahli pikir dan para filosof yang bijak, dan ilmu
para ulama yang berpegang pada rahasia syari’at berkumpul untuk menciptkan
jalan dan akhlaq yang lebih baik dari apa yang ada pada mereka(para sufi) tidak
mungkin bisa menemukannya. Lantaran gerak dan diam para sufi, baik lahir
ataupun bathin, dituntun oleh cahaya kenabian. Dan tidak ada cahaya kenabian
diatas dunia ini, cahaya lain yang bisa meneranginya.”(mungqidz min
al-Dlalal, hal, 31). [13]
Kemudian soal pendalaman perasaan agama dan
pemantapan iman, Al-Ghazali melihat bahwa tasawuf adalah sarana yang hebat
untuk untuk mendukung bagi pendalaman rasa agama (spiritualitas Islam) dan
untuk memantapkan dan menghidupkan iman. Dengan Ilmu kalam orang baru
bisa mengerti tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak bisa menanamkan
keyakinan yang mantap dan menghidupkan pengalaman agama. Oleh karena itulah Tasawuflah
sarana yang paling hebat untuk mengobati penyakit formalism dan kekeringan rasa
keagamaan ini menurut Al-Ghazali.[14]
Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana cara
mengawinkan dan mengkrompromikan tasawuf dengan syari’at? Atau dengan kata lain
bagaimana mengkompromokan syari’at dan hakikat sehingga keduanya tidak saling
menggusur, akan tetapi justru saling mendukungnya. Persoalan inilah yang telah
cukup lama diangan-angankan oleh para sufi sendiri, bagaimana cara menjembatani
dua system yang tumbuh berdampingan yang sering memancing konflik yang cukup
tajam.[15]
Adapun fungsi hakikat itu sendiri terhadap
syari’at adalah sebagaimana digamabarkan Imam Al-Qusyairi di dalam risalahnya
yaitu;
“Syari’at itu perintah untuk melaksanakan
ibadah, sedang hakikat menghayati kebesaran Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap
syari’at yang tidak diperkuat hakikat adalah tidak diterima; dan setiap hakikat
yang tidak terkait dengan syari’at tak menghasilkan apa-apa. Syari’at datang
dengan kewajiban pada hamba, dan hakikat memberitakan ketentuan Tuhan. Syari’at
memerintahkan mengibadahi Dia, hakikat meyaksikannya pada Dia. Syari’at
melakukan yang diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuannya, kadar-Nya,
baik yang tersembunyi maupun yang di luar. (Risakah Qusyairiyah. Hal, 46)[16]
Disini, Al-Ghazali berupaya membersihkan
tasawuf dari ajaran-ajaran asing yang merasukinya, agar tasawuf berjalan di
atas koridor Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia menolak paham Hulul dan Ittihad
sebagaimana yang di propagandakan oleh al-Hallaj dan lainnya. Al-Ghazali hanya
menerima tasawuf Sunni yang didirikan diatas pilar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia
berusaha mengembalikan tema-tema tentang Akhlaq, Suluk, atau Hal
pada sumber Islam. Semuanya itu harus mempunyai landasan Al-Qur’an dan
As-Sunnah.[17]
Satu hal mencolok yang dilakukan Al-Ghazali
pada tasawuf adalah upayanya dalam mengalihkan tema-tema Dzauq (rasa), Tahliq
(terbang), Syathahat, dan Tahwil menjadi nilai-nilai yang
peraktis. Ia mengobati hati dan bahaya jiwa, lalu mensucikannya dengan akhlaq
yang mulia. Upaya ini nampak jelas terlihat dalam kitab Al-Ihya’-nya. Ia
bebicara tentang akhlaq yang mencelakakan(al-Muhlikat) dan akhlaq yang
menyelamatkan (al-Munjiyat). “Al-Muhlikat adalah setiap akhlaq
yang tercela (madzmum) yang dilarang al-Qur’an. Jiwa harus dibersihkan dari
akhlaq yang tercela ini. Al-Munjiyat adalah akhlaq yang terpuji
(mahmud), sifat yang disukai dan sifatnya orang-orang muqarrabin dan shiddiqin,
dan menjadi alat bagi hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam.[18]
Tema ilmu sufi menurut Al-Ghazali adalah Dzat,
sifat da perbuatan Alah SWT. Adapun buah dari pengetahuan tentang Allah adalah
timbulnya sikap mencintai Allah, karena cinta tidak aka muncul tanpa “pengetahuan”
dan perkenalan. Buah lain dari pengetahuan tentang Allah adalah “tenggelam
dalam samudra Tauhid”, karena seorang ‘arif tidak melihat apa-apa
selain Allah, tidak kenal selain Dia, di dalam wujud ini tiada lain kecuali
Allah dan perbuatan-Nya. Tidak ada perbuatan yang dapat dilihat manusia kecuali
itu adalah perbuatan Allah. Setiap alam adalah ciptaan-Nya. Barang siapa
melihat itu sebagai hasil perbuatan Allah, maka ia tidak meluhat kecuali dalam
Allah, ia tidak menjadi arif kecuali demi Allah, tidak mencintai kecuali Allah
SWT. Imam Al-Ghazali menambahkan, “Mereka melatih hati, hingga Allah
memperkenankan melihatNya. Sementara itu, tasawuf dilakukan dengan
memegang teguh dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.”[19]
Sehingga dalam perilaku dan ucapannya,
Al-Ghazali teguh memegangi syari’at. Ia mengatakan, “seorang arif sejati
mengatakan, “jika kamu melihat seorang manusia mampu terbang di awang-awang
dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan syari’at, maka ketahuilah dia itu setan.”[20]
Bahkan dengan terang-terangan dia menolak dan
melawan mereka deangan berbagai alasan dan dalil. Secara terus terang
menyatakan seseorang yang telah mendapatkan penyingkapan (kasyf) dan penyaksian
(musyahadah) tidak layak mengeluarkan suatu ucapan yang bertentangan dengan
aqidah Islam, yakni aqidah tauhid murni yang membedakan mana Tuhan dan mana
hamba, serta menegaskan bahwa Tuhan adalah Tuhan dan hamba adalah hamba. Itulah
aqidah yang dipegang teguh Al-Ghazali.[21]Al-Ghazali
mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang diucapkan oleh kaum sufi itu boleh jadi
masuk ke dalam kategori imajinasi (tawahhun) karena mereka kesulitan dengan
kata-kata tentang kebersatuan yang telah mereka capai. Atau, boleh jadi,
penggunaan istilah-istilah itu masuk kerangka pengembangan dan perluasan
istilah yang sesuai dengan tradisi sufi dan para penyair. Mereka biasanya
meminjam istilah yang paling mudah dipahami, seperti kata penyair berikut; “Aku
adalah yang turun, dan yang turun adalah aku juga. Kami adalah ruh yang
bersemayam dalam satu badan”.[22]
Lebih jauh, Al-Ghazali mengambil kesimpulan
secara umum denga memberikan catatan penting yang menyatakan bahwa kebersatuan
dengan Tuhan (ittihad) secara rasional tidak mungkin terjadi. Dan Al-Ghazali
tidak membahas lebih lanjut ihwal makrifat intuitif (al-ma’rifah
adz-dzawiqiyyah), yang merupakan konsep utama tasawufnya. Sebab, Al-Ghazali,
sebagaimana di katakana oleh Ibnu Thufail, telah terasah dengan berbagai
ilmu dan terpoles dengan ma’rifat. Karena itu, pembahasan Al-Ghazali tentang
konsep ma’rifat senantiasa berada dalam batas-batas agama. Ia tidak pernah
membiarkan dirinya hanyut dalam ucapan orang lain.[23]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tasawuf menurut
Al-Ghazali adalah mengosongkan hati dari segala sesuatu selain Allah,
menganggap rendah segala sesuatu selain Allah, dan akibat dari sikap itu
mempengaruhi pekerjaan hati dan anggota badan.[24]
B. Al-Ghazali dan Syari’at
Sebagaimana dipaparkan di atas tentang
kehidupan Al-Ghazali bahwa, kehidupannya diliputi gelombang pemikiran yang
sangat dahsyat sehingga membuat Al-Ghazali terombang-ambing dengan
keyakinannya, maka dengangan demikian terlontarlah kata-katanya yang bijak
bahwa, “hingga akhirnya ia merasa dirinya tidak lagi harus memilih, tetapi harus
dipakasa untuk meninggalkan Bagdad. Kini lidahnya menjadi berat dan dirinya
merasa bosan mengajar. Keadaan ini membuat hatinya sedih dan kondisi fisiknya
lemah, sampai-sampai dokter putus asa mengobatinya. Para dokter mengatakan,
“penyakitnya bersumber dari hati dan merembet ke tubuhnya. Penyakitnya tidak
bisa diobati kecuali mengistirahatkan pikiran dari faktor-faktor yang
membu atnya sakit”[25]
Mengenai goncangan kepercayaan yang dipandang
sesat dari ajaran Syi’ah Bathiniyah atau yang beliau sebut golongan Ta’limiyah,
yang mengharuskan percaya kepada iman-iman yang dipandang ma’sum (terpelihara
dari kesalahan), Al-Ghazali menganjurkan agar masyarakat muslim lebih baik
beriman kepada Nabi Muhammad yang memang diwajibkan seluruh muslim langsung
beriman kepada Nabi, dan bukannya iman-iman kepada penyebar bid’ah.[26]
Dari susunan Ihya’ ‘Ulum al-Dien
tergambar pokok pikiran Al-Ghazali mengenai hubungan syariat dan hakekat
atau tasawuf. Yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus
memperdalam ilmu tentang syari’at dan aqidah telebih dahulu. Tidak hanya itu,
dia harus konsekuwen menjalankan syari’at dengan tekun dan sempurna. Karena
dalam hal syari’at seperti shalat, puasa dan lain-lain, di dalam ihya’
diterangkan tingkatan, cara menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya. Yakni
sebagai umumnya para penganut tasawuf dalam ihya’ dibedakan tingkatan orang
shalat antara orang awam, orang khawas, dan yang lebih khusus lagi. Demikian
juga puasa, dan sebagainya. Sesudah menjalankan syari’at dengan tertib dan
penuh pengertian, baru pada jilid ketiga dimulai mempelajari tarekat. Yaitu
tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan kemudian lau wiridan dalam
menjalankan dzikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan
ma’rifat.[27]
- C. Tasawuf dan Syari’at
Salah satu tuduhan yang kerap dialamatkan
kepada tasawuf adalah bahwa tasawuf mengabaikan atau tidak mementingkan
syari’at. Tuduhan ini berlaku hanya bagi kasus-kasus tertntu yang biasanya
terdapat dalam tasawuf tipe “Keadaan Mabuk”(sur, intoxication), yang
dapat membedakan dari tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”(sahw, sobiety).
“Keadaan Mabuk” dikuasai oleh persaan kehadiran Tuhan: para sufi
melihat Tuhan dalam segala sesuatu dan kehilangan kemampuan untuk membedakan
makhluq-makhluq. Keadaan ini disertai oleh keintiman (uns), kedekatan dengan
Tuahn yang mencintai. “keadaan-tidak-mabuk” dipenuhi oleh rasa takut dan
hormat (haybah), rasa bahwa Tuhan betapa agung, perkasa, penuh murkan dan jauh,
derta tidak perduli pada persoalan-persoalan kecil umat manusia.
Para sufi “yang mabuk” merasakan
keintiman denga Tuhan dan sangat yaqin pada kasih sayangNya, sedangkan para
sufi “yang-tidak-mabuk” dikuasai rasa takut dan hormat kepada Tuhan dan
tetap khawatir terhadap kemurkaanNya. Yang pertama cenderung kurang
mementingkan syari’at dan menyaatkan terang-terangan persatuan denagan Tuhan,
sedangkan yagn kedua memelihara kesopanan (adab) terhadap Tuhan. Para sufi
yang, dalam ungkapan Ibn al-‘Arabi, “melkihat dengan kedua mata” selalu
memelihara akal dan kasyf (penyingkakpan intuitif) dalam keseimbangan yang
sempurna dengan tetap mengakui hak-hak “yang tidak-mabuk” dan “yang-mabuk.”
Tuduhan bahwa tasawuf mengabaikan syari’at
tidak dapkat diterima apabila ditujukan kepada tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”.
Pasalnya, tasawuf tipe ini sangat menekankan pentingnya syari’at. tasawuf tidak
dapat dipisahkan karena bagi para penganutnya syri’at adalah jalan awal yang
harus ditempuh untuk menuju tasawuf.
Dalam suatu bagian Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibn
Al-‘Arabi menyatakan, “jika engkau betanya apa itu tasawuf? Maka kami menjawab,
tasawuf adalah mengikatkan diri kepada kelakuan-kelakuan baik menurut
syri’at secara lahir dan batin dan itu adalah akhlaq mulia. Ungkapan-ungkapan
kelakuan baik menurut syari’at dalam perkataan Ibn al-‘Arabi ini menunjukkan
bahwa tasawuf harus berpedoman pada syari’at. Menurut sufi ini, syari’at adalah
timbangan dan pemimpin yang harus di ikuti dan disikuti oleh siapa saja yang
mengigninkan keberhasialan tasawuf. Sebagai mana Ibn al’Arabi, Hussen Naser,
seorang pemikir dari Iran yang membela tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”berulangkali
menekankan bahwa tidak ada tasawwuf tanpa syari’at.
Iskam sebagai agama yang sngat menekankan
keseimbangan memanifestasikan dirinya dalam kesatuan syari’at (hukum Tuahan)
dan tharikat (jalan spiritual), yang sering disebut sufisme atau tasawuf. Apabila
syari’ata adalah dimensi eksoteris Islam, yang kebih banyak berurusan aspek
lahiriyah, maka tharikat adalah dimensi esoteric Islam, yang lebih banyak
berurusan dengan aspek bathiniyah. Pentingnya menjaga keatuan syari’at dan
tharikat dituntut oleh kenyataan bahwa segala sesuatu dialam ini, termasuk
manusia, mempunyai aspek lahitaiyah dan bathiniyah.
Islam adalah suatu Agama yang mempunyai ajaran
yang amat luas. Ajaran-ajaran Islam itu dinamakan Syari’at Islam. Syari’at
Islam mencakup segenap peraturan-peraturan Allah SWT, yang dibawa/disampaikan
oleh Nabi Muhammad saw, untuk seluruh manusia, dalam mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan, hubungan menusia sesamanya dan hubungannya dengan makhluk lain.
Dan peraturan itu berfaedah untuk untuk mensucikan jiwa manusia danmenghiasinya
dengan sifat-sifat yang utama. Inilah pengertian syari’at yang biasa dipakai
oleh para Ulama’ Salaf.[28]
Tasawuf adalah satu cabang dari Syari’at Islam,
seperti halnya dengan Tauhid(aqidah) dan fiqih yang merupakan cabang dari
Syari’at Islam. Seperti di dalam hadist yang diriwayatkan dari Umar ra, yang
mengisayaratkan tiga unsure dasar syari’at Islam tentang Islam, Iman dan Ihsan.
[29]
Ihsan termasuk amal hati dalam hubungan dengan
ma’bud(Tuhan). Soal ini tidak dipelajari di dalam ilmu kalam dan fiqh, tetapi
dibicarakan di dalam Tasawuf. Adapun yang berkenaan dengan amal lahir seperti
shalat, puasa, zakat dan haji, itulah yang dipelajari dalam ilmu fiqh, yang
menyangkut soal aqidah dipelajari di dalam ilmu Kalam.[30]
Selain dari Ihsan, tasawuf juga membahas
tentang hubngan manusia dengan sesamanya yang disebut akhlaq, seperti halnya
dengan fiqh selain membahas tentang rukun Islam ia juga membahas tentang
muamalat maliah, jinayat, munahkat dan qoda’, karena persoalan-persoalan ini
erat hubungannya dengan maslah pokok yang disebutkan Nabi diatas(Islam, Iman,
Ihsan). Sebagai contoh adalah tentang penyakit dengki(hasad). Dengki menurut
hadist Rasul dapat memakan amal seprti api memakan kayu bakar. Dari hadist ini
(tentang Islam, Iman, Ihsan)dapat dipahamkan bahwa dengki yang merusak hubungan
dengan sesame manusia juga dapat merusak hubungan dengan Tuhan. Karena itu
masalah akhlaq yang tercela dan akhlaq yang terpuji yang bertumbuh di dalam
hati dapat dipelajari dalam ilmu Tasawuf. Dengan ini jelas, betapa
kedudukan Tasawuf denga rangkaian syari’at Islam.[31]
Tasawuf Islam tidak akan ada kalau tidak ada
Tauhid. Tegasnya tiada guna pembersihan hati kalau tidak beriman. Tasawuf Islam
sebenarnya adalah hasil dari aqidah yang murni dan kuat yang seseuai dengan
kehendak Allah dan RasulNya.[32]
Sungguh sudah banyak penganut Tasawuf yang
tergelincir di bidang ini. Banyak para Shufi yang telah mengaku dirinya Tuhan
atau manifestasi Tuhan. Ada pula yang mengaku bahwa para Nabi lebih rendah
derajatnya dari para wali. Ada yang mengi’tikadkan bahwa ibadat-ibadat yang
kita kerjakan tidak sampai kepada Tuhan kalau tidak dengan merabithahkan guru
lebih dahulu. Dan bayak macam-macam I’tiqad yang sesat yang bersumber dari akal
fikir manusia.[33]
Mereka tidak melakukan segala I’tiqad-I’tiqad
kafir dan musyrik ini kurang mendalami jiwa Tauhid Islam yang murni/yang belum
bercampur dengan filsafat pemikiran manusia. Oleh sebab itu untuk mendalami
tasawuf Islam terlebih dahulu harus dimatagkan pengertian Tauhid Islam. Amal
Tasawuf akan rusak binasa kalau tidak didahului oleh pengertian tentang Tauhid.[34]
Demikianlah hubungan antara ilmlu Tasawuf
dengan ilmu Tauhid (syari’at). Tasawuf tidak aka nada kalau tidak ada Tauhid
dan Tauhid tidak akan tumbuh subur dan berbuah lebat kalau tidak ada Tasawuf.[35]
- D. Kodifikasi TASAWUF dengan SYARI’AT dalam Kacamata AL-GHAZALI
Imam Al-Ghazali (w, 111 M.) adalah ulama’ ahli
syari’at penganut mazhab syafi’I dalam hukum fiqh, dan seorang teolog pendukung
Asy’ari yang sangat kritis, namun sesudah lamjut usia ia mulai meragukan dalail
akal yang menjadi tiang tegaknya mazhab asy’ariah di samping dalil wahyu.
Sesudah mengalami keraguan terhadap kemampuan akal baik dalam filsafat ataupun
penggunaannya dalam ilmu kalam, akhirnya justru mendapat kepuasan dalam
penghayatan kejiwaan dalam sufisme, mempercayai kemutlakan dalail kasyf. Hal
ini merupakan keunikan atau keanaehan al-Ghazali. Mungkin karena pengaruh
lingkungan keluarga dan masyarakat Persi masa itu yang merupakan lahan yang
subur bagi perkembangan pemikiran dan kehidupan sufisme. Agaknya beliau telah
sejak kecil punya penilaian positif terhadap ajaran sufisme. Karena memang
beliau melihat dan menghayati betapa institusi tasawuf dapat memperdalam
keyakinan dan perasaan agama yang mendalam, serta dapat membina akhlaq yang
luhur. Dan ternyata akhirnya Al-Ghazali jadi propagandis sufisme yang paling
bersemangat dan paling sukses. Misalnya, tetntang kehidupan para sufi dan
tasawuf yang digambarkannya:
“Sungguh aku mengetahui secara yakin bahwa
para sufi itulah orang-orang yang benar-benar telah menempuh jalan Allah SWT,
secara khusus. Dan bahwa jalan mereka tempuh adalah jalan yang sebaik-baiknya,
dan laku hidup mereka adalah yang paling benar, dan akhlaq adalah yang paling
suci. Bahkan seandainya para ahli piker dan para filosof yang bijak, dan ilmu
para ulama yang berpegang pada rahasia syari’at berkumpul untuk menciptkan
jalan dan akhlaq yang lebih baik dari apa yang ada pada mereka(para sufi) tidak
mungkin bisa menemukannya. Lantaran gerak dan diam para sufi, baik lahir
ataupun bathin, dituntun oleh cahaya kenabian. Dan tidak ada cahaya kenabian
diatas dunia ini, cahaya lain yang bisa meneranginya.”(mungqidz min al-Dlalal,
hal, 31). [36]
Kutipan di atas menunjukkan betapa tingginya
nilai tasawuf di mata al-Ghazali. Dan memang hingga masa itu tasawuf masih
dikelola oleh golongan elit (khawas), belum merakyat. Jadi kualitasnya masih
bias terkendali. Hanya timbulnya kecenserungan kea rah phanteis atau
union-mistik dan penyimpangan terhadap syari’at yang meulai memperihatinkan dan
menimbulkan ketegangan. Hal ini tercermin dalam judul risalah otobiografi
al-Ghazali al-Munqidz min ad-Dlalal, yang bias di terjemahkan pembebas dari
kesesatan. Dari segi sufuisme buku tersebut mengkritik kesesatan peafsiran para
penganut paham hulul, ittihad, dan wushul, dengan pernyataannya:
“ringkasnya, penghayatn makrifat itu
memuncak sampai yang demikian dekatnya pada Allah sehingga ada segolongan
mengatakan hulul, segolongan lagi mengatakan ittihad, dan ada pula yang
mengatakan wushul, kesemua ini salah. Dan telah kujelaskan segi kesalahan
mereka dalam maqshudu al-Aqsha(Tujuan yang Tinggi).Al-Munqidz min al-Dlala,
hal. 32”[37]
Mengenai goncangan kepercayaan yang dipandang
sesat dari ajaran Syi’ah Bathiniyah atau yang beliau sebut golongan Ta’limiyah,
yang mengharuskan percaya kepada imam-imam yang dipandang ma’sum (terpelihara
dari kesalahan), Al-Ghazali menganjurkan agar masyarakat muslim lebih baik
beriman kepada Nabi Muhammad yang memang diwajibkan seluruh muslim langsung
beriman kepada Nabi, dan bukannya iman-iman kepada penyebar bid’ah. .[38]
Sedang mengenai masalah ajaran-ajaran dalam
sufisme, dalam munqidz telah ditunjikkan paham-paham yang sesat. Agar
masyarakat tidak tersesat kepaham neka-neka al-Ghazali mencoba membatasi penghayatan
makrifat dalam sufisme agar dimoderasi hanhya sampai ke penghayatan yang amat
dekat dengan Tuhan, tidak terjerumus ke paham hulul, ittihad, dan whusul.
Dengan demikian berarti al-Ghazali menolak penghayatan makrifat kea rah puncak,
yaitu menolak fana’ al-fana’. Jadi dalam mengamalkan tasawuf dibatasi dan
dimoderasi hanya kepada penghayatan fana’ (ecstasy) yang tengah-tengah, yang
masih menyadari adanya perbedaan yang fundamental antara manusia dan Tuhan yang
transenden, mengatasi alam semesta. Yaitu hanya samkpai penghayatan yang dekat
(qurb) dengan Tuhan, sehingga kesadaran diri sebagai yang sedang makrifat tetap
berbeda dengan Tuhan yang dimakrifatinya.[39]
Kemudian soal pendalaman perasaan agama dan
pemantapan iman, Al-Ghazali melihat bahwa tasawuf adalah sarana yang hebat
untuk untuk mendukung bagi pendalaman rasa agama (spiritualitas Islam) dan
untuk memantapkan dan menghidupkan iman. Dengan ilmu kalam orang baru bisa
mengerti tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak bisa menanamkan keyakinan
yang mantap dan menghidupkan pengalaman agama. Oleh karena itulah tasawuflah
sarana yang paling hebat untuk mengobati penyakit formalism dan kekeringan rasa
keagamaan ini menurut Al-Ghazali.[40] Yang menjadi
masalah kemudian, bagaimana cara mengawinkan dan mengkompromikan tasawuf dengan
syari’at itu? Atau dengan kata lain bagaimana mengkompromikan syari’at dan
hakikat sehingga keduanya tidak saling menggusur, akan tetapi justru saling
mendukung.?
Kebutuhan ini wajar, karena para sufi sendiri mengembangkan
ajaran mereka adalah untuk menyemarakkan kehidupan agama, dan bukan untuk
merusaknya. Namun bagaimana caranya, itu yang belum bisa di kemukakan oleh para
ulama’ sufi. Imam al-Qusyairi (w, 1074M.) dalam risalahnya baru bisa merumuskan
harapan sebagai berikut:
“Syari’at itu perintah untuk melaksanakan
ibadah, sedang hakikat menghayati kebesaran Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap
syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat tidak diterima; dan setiap hakikat
yang tidak terkait dengan syari’at, pasti tak menghasilkan apa-apa. Syari’at
dating dengan kewajiban pada hamba, dan hakikat memberikan ketentuan Tuhan.
Syari’at memerintahkan mengibadahi pada Dia. Syari’at melakuakan yang
diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuanNya, kadarNya, baik yang
tersembunyi ataupun yang tampak diluar. (Risalah Qusyairiyah, hal. 46)”[41]
Walaupun cita untuik menjalin keselarasan pengamalan
taswuf dengan syari’at telah di cetuskan dan menjadi keprihatinan ulama’-ulama’
sufi sebelumnya, namun baru al-Ghazali yang secara konkrit berhasil merumuskan
bangunan ajarannya. Konsep al-Ghazali yang mengkompromikan dan menjalin secara
ketat antara pengalaman sufisme denga syari’at disusun dalam karyanya yang
paling monumental Ihya’ Ulumu ad-Din.[42]
Dari susunan Ihya’ ‘Ulum al-Dien
tergambar pokok pikiran Al-Ghazali mengenai hubungan syariat dan hakekat
atau tasawuf. Yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus
memperdalam ilmu tentang syari’at dan aqidah telebih dahulu. Tidak hanya itu,
dia harus konsekuwen menjalankan syari’at dengan tekun dan sempurna. Karena
dalam hal syari’at seperti shalat, puasa dan lain-lain, di dalam ihya’
diterangkan tingkatan, cara menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya. Yakni
sebagai umumnya p[ara penganut tasawuf dalam ihya’ dibedakan tingkatan orang
shalat antara orang awam, orang khawas, dan yang lebih khusus lagi. Demikian
juga puasa, dan sebagainya. Sesudah menjalankan syari’at dengan tertib dan
penuh pengertian, baru pada jilid ketiga dimulai mempelajari tarekat. Yaitu
tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan kemudian lau wiridan dalam
menjalankan dzikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau
penghayatan ma’rifat.[43]
Tema ilmu sufi menurut Al-Ghazali adalah Dzat,
sifat da perbuatan Alah SWT. Adapun buah dari pengetahuan tentang Allah adalah
timbulnya sikap mencintai Allah, karena cinta tidak aka muncul tanpa
“pengetahuan” dan perkenalan. Buah lain dari pengetahuan tentang Allah adalah
“tenggelam dalam samudra Tauhid”, karena seorang ‘arif tidak melihat
apa-apa selain Allah, tidak kenal selain Dia, di dalam wujud ini tiada lain
kecuali Allah dan perbuatan-Nya. Tidak ada perbuatan yang dapat dilihat manusia
kecuali itu adalah perbuatan Allah. Setiap alam adalah ciptaan-Nya. Barang
siapa melihat itu sebagai hasil perbuatan Allah, maka ia tidak meluhat kecuali
dalam Allah, ia tidak menjadi arif kecuali demi Allah, tidak mencintai kecuali
Allah SWT. Imam Al-Ghazali menambahkan, “mereka melatih hati, hingga Allah
memperkenankan melihatNya. Sementara itu, tasawuf dilakukan dengan
memegang teguh dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.[44]
Sehingga dalam perilaku dan ucapannya,
Al-Ghazali teguh memegangi syari’at. Ia mengatakan, “seorang arif sejati
mengatakan, “jika kamu melihat seorang manusia mampu terbang di awang-awang dan
mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan syari’at, maka ketahuilah dia itu setan.”[45]
Referensi:
ü Tasawuf dan
Perkembangannya Dalam Islam. Dr. Simuh. Jakarta. Rajawali Pers. Cet.
II. Hal. Th. 2002.
ü Tasawuf
antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Dr. Abdul Fattah Sayyid Ahmad.
Khalifah Jakarta. Cet I. Th. 2000 M.
ü Tasawuf
antara Agama dan Filsafat. Dr. Ibrahim Hilal. Pustaka Hidayah
Bandung. Cet. I. Th. 2002.
ü Pengantar
Ilmu Tasawuf. Drs. Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta. Cet. I.
Th 1987 M.