Oleh : Andika Wayan
A. Sekilas
Tentang Al-Ghazali
Nama lengkapnya
adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus.
Wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang pengrajin wol
dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar
“pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang
menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada
keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan
pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.[1]
Al-Ghazali
adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara sufisme dan syari’ah dalam
satu sistem.[2]
Ia belajar ilmu pertama kali pada seorang sufi di negara Thus, kemudian ia
pindah ke Jurjan dan Naisabur untuk belajar ilmu agama pada ulama besar yang
termashur yaitu Imam al-Haramain Diya al-Din al-Juwaini, ia seorang direktur
sekolah di Naisabur, ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu fiqih, ushul fiqih,
mantiq, dan ilmu kalam.
Pada tahun 478
H/ 1058 M al-Ghazali bermukim di al-Muaskar dan kemudian pindah ke Baqhdad
untuk menjadi dosen di Perguruan Tinggi Ridzamiyah pada tahun 484 H/ 1091 M. Ia
meninggal di Thus pada tangal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/ 19 Januari tahun
1111 M.[3]
Faham yang
dibawanya adalah “al-Ma’rifah” sehingga karena jasanyalah tasawuf tersebut
dapat diterima dikalangan ahli syari’at. Menurutnya ma’rifat adalah mengetahui
rahasia tuhan dan mengetahui peraturannya, mengenai segala yang ada, yang ia
ungkapkan dalam ucapannya yaitu :
الاِطِّلاَعُ عَلَى اَسْرَارِالرُّبِيَةِ و
َالْعِلْمُ بِتَرَتُّبِ اْلاُمُوْرِاْلاِلهِيَةِ الْمُحِيْطَةِ بِكُلِّ
الْمَوْجُوْدَاتِ.
Menurutnya ma’rifat dalam tasawuf adalah suatu
tingkat di mana hijab hilang didepan wajah seorang sufi, sehingga ia
dengan hati sanubarinya dapat melihat Tuhan dan hal-hal lain yang tidak dapat
dilihat oleh manusia biasa.
Ia juga
menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan, ia tidak akan
mengatakan kata-kata Ya Allah atau Ya Rabb, karena memanggil Tuhan dengan
kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berada dibelakang tabir
orang yang berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan
kata-kata itu.[5]
Baginya ma’rifat lebih dulu urutannya dari pada mahabah, karena mahabah timbuh
dari ma’rifat dan mahabah bagi al-Ghazali bukanlah mahabah sebagaimana yang di
ucapkan oleh rabiah, tetapi mahabah baginya adalah dalam bentuk cinta seorang
kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki,
kesenangan, dan lain-lain. Mahabah dan ma’rifat adalah setinggi-tingginya
tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari
ma’rifat menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan yang
diperoleh dengan akal.[6]
B. Pemikiran
tentang Pendidikan
Al-Ghazali
adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran
dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah
keutamaan dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya
termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan
karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan anda kepada kebahagiaan
di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karena itu
ia menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa
kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang
disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran
itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.[7]
Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada
tujuan yang jelas.
Mengingat
pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang
tujuan pendidikan, yaitu :
1. Mendekatkan
diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri
melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
2. Menggali dan
mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
3. Mewujudkan
profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
4. Membentuk
manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat
tercela.
5.
Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang
manusiawi.
Bertolak dari
pengertian pendidikan menurut al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa pendidikan
merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam prosesnya memerlukan
alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran manusia sampai akhir
hayatnya kita selalu bergantung pada orang lain. Dalam hal pendidikan ini,
orang (manusia) yang bergantung disebut murid sedangkan yang menjadi tempat
bergantung disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek
pendidikan.[8]
Oleh karena itu
arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mencapai tujuan
hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yang hal ini berlangsung hingga
akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai
murid.
Manusia adalah
subyek pendidikan, sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia, maka
dalam pendidikan itu harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulumnya
pendidikan menurut al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada
murid hendaknya secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti,
memahami, meyakini, dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai
pengetahuan tanpa memerlukan bukti atau dalil.[9]
Sehingga dengan pentahapan ini melahirkan metode khusus pendidikan, menurut
al-Ghazali yaitu :
1. Metode
khusus pendidikan agama
Menurut al-Ghazali metode ini pada prinsipnya
di mulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan
dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang bisa
menunjang penguatan akidah.
2. Metode
khusus pendidikan ahklak
Akhlak menurut al-Ghazali adalah : suatu sikap
yang mengakar dalam jiwanya yang melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya pertimbangan
dan pemikiran terlebih dahulu.[10]
Dengan adanya
metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah
kepada pembentukan akhlak mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai
kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir
pendidikan dan pembinaan itu ada 2 yaitu :
1. Kesempurnaan
insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
2. Kesempurnaan
insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
C. Karya-Karya
al-Ghazali
1. Di Bidang
Filsafat
a. Maqashidu
–ul falasifah (tujuan ilmu filsafat)
b. Tahafut –ul
falasifah (kesesatan ilmu filsafat)
c.
Al-Ma’rifatul ‘Aqliyah (ilmu pengetahuan yang rasional)
2. Di Bidang
Agama
a. Ihya’
Ulumuddin (menghidup-hidupkan ilmu agama)
b. Al-Mungis
minal dhalal (terlepas dari kesesatan)
c. Minhaj ul
abidien (jalan mengabdi Tuhan)
d. Kitab-kitab
akhlak dan tasawuf.
3. Dalam Bidang
Kenegaraan
a. Mustazh –
hiri
b. Sirrul
‘alamain (rahasia dua dunia yang berbeda)
c. Suluk us
Sulthanah (cara menjalankan pemerintahan)
d. Nashihat et
muluk (nasihat untuk kepala-kepala negara)
Itulah karya-karya al-Ghazali yang saat masih
bisa kita simak.[11]
III. PENUTUP
Dari uraian di
atas dapat di simpulkan bahwa pendidikan itu adalah proses memanusiakan manusia
yang bertujuan membentuk insan kamil untuk menjadi khalifah di bumi. Dan dengan
adanya pendidikan ini diharapkan manusia mampu mencapai tujuan hidupnya di dunia
dan akherat, dan hidup yang berpedoman al-Qur’an dan Hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali
Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998
Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan
tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta, 1993.
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz III,
Masyhadul Husaini, tt.
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam
Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina Utama,
Semarang, cet I, 1993.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan
Pemurniannya, PT. Pustaka Panji Mas, Jakarta, cet XI, 1984.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, 1979.
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi
Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, cet-1, 1993.
[1] C.A. Qadir, Filsafat
dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991,
hlm. 103.
[3] Abudin Nata, Ilmu
Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta,
1993, hlm. 91.
[4] Hamka,
Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT. Pustaka Panji Mas, Jakarta, cet
XI, 1984, hlm. 135.
[6] Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press,
Jakarta, 1979, hlm. 78.
[7] Abidin Ibnu
Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I,
Yogyakarta, 1998, hlm. 56.
[9] Fathiyah Hasan
Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan
Menurut Al-Ghazali, Dina Utama, Semarang, cet I, 1993, hlm. 18.
[11] Thawil Akhyar
Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, cet-1,
1993, hlm. 55-62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar